Petitum Permohonan |
- Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai buah perjuangan seluruh rakyat Indonesia, didirikan dengan tujuan yang luhur untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta berlandaskan keadilan sosial. Demi tujuan itulah, bangsa Indonesia membentuk dan menyusun suatu Pemerintahan Indonesia, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang termaktub di dalam Alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam rangka itu, sejak semula berdirinya Negara Indonesia, telah diletakkan suatu landasan negara yang ideal, sebagaimana Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia berlandaskan hukum (rechstaat), bukan kekuasaan (machstaat)”;
- Bahwa oleh karena Negara Hukum (rechstaat), maka setiap warga Negara wajib mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa ada pengecualian (Equality before the law), sebagaimana tereksplisit dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945;
- Bahwa penegakkan Hukum dalam Sistem Peradilan pidana termasuk Upaya paksa (Dwang Middelen) yang dilaksanakan oleh Aparatur Penegak Hukum untuk mengungkap suatu dugaan tindak pidana, tetaplah dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip Due process of law, yakni hukum ditegakkan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Umum, sekaligus tetap memperhatikan Hak Asasi warga Negara agar tidak boleh dirampas, dihilangkan, diabaikan begitu saja atas nama Hukum;
- Bahwa prinsip Due process of law adalah manifestasi dari adanya penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan menjamin tegaknya hak itu dengan melarang dan mencegah Setiap Perbuatan Apa Saja Atas, Dasar Alasan Apa Pun, Dan Oleh Siapa Pun Juga agar tidak bertentangan dengan HAM, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan : “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”
- Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Hukum Formil, diadakan dengan tujuan agar penyelenggaraan Peradilan Pidana dapat menghadirkan suatu kebenaran materill, yakni suatu kebenaran yang sebenar-benarnya tanpa keragu-raguan yang beralasan (the truth without a reasonable doubt). Kebenaran Materiil hanya dapat diperoleh dari adanya alat-alat bukti yang sah, yang diperoleh dan ditentukan melalui suatu prosedur penyelidikan dan penyidikan secara berimbang.
- Bahwa jika proses penyelidikan dan penyidikan bertentangan dengan hukum formil, maka setiap warga Negara yang merasa Hak Asasinya dilanggar itu, dapat menempuh jalan Praperadilan sebagai tempat dilaksanakannya upaya pengawasan secara horizontal terhadap pelaksanaan kesewenangan Penyidik;
- Bahwa Pasal 77 KUHAP menyatakan, “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.
- Bahwa kemudian Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 21/ PUU - XII/ 2014 dalam salah satu bagian pertimbangannya menyatakan “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum lembaga praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan, maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya”. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan:
- Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan (garis bawah oleh Pemohon);
- Bahwa atas dasar uraian tentang hubungan hukum dan dasar hukum tersebut, yang menjadi dasar hukum Permohonan Praperadilan ini adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 77 Huruf a juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/ PUU - XII/ 2014 untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON.
- Bahwa penetapan tersangka dalam proses hukum telah masuk pada tatanan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Kedudukan tersangka dalam tatanan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia telah diakomodir dalam KUHAP, karena hak-hak tersangka pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari pengakuan HAM secara universal sebagaimana yang tertuang dalam International Convention On Civil And Political Right (ICCPR), terkait dengan hak hukum seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 12 yakni “menyatakan hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum dan pengadilan”, selanjutnya ditegaskan pula dalam Pasal 14, bahwa “hak untuk diperlakukan sebagai subjek hukum di manapun”, bahkan lebih dari itu secara terekplisit ditegaskan pula di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen, yakni dalam Pasal 28 i ayat (1) yang menyebutkan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
- Bahwa seseorang yang telah dicap atau diberi lebel tersangka pada intinya dalam kehidupan sosial sudah terstikma di dalam dirinya suatu kesalahan (presumption of quilty), padahal hukum pidana Indonesia menganut asas praduga tak bersalah (persumption of innocent), tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan tentang kesalahannya itu.
- Bahwa dalam proses praperadilan khususnya mengenai objek penetapan tersangka sangatlah patut dipahami bahwa dalam menggali kebenaran guna mencapai keadilan adalah suatu kebenaran yang bersifat formal dan bukanlah menggali kebenaran materill terhadap pasal-pasal yang disangkakan, melainkan apakah menetapkan seseorang sebagai tersangka sudah didasarkan pada kaidah formal atau prosedur yang digariskan suatu kaidah hukum yang tepat (Due Process of law).
- DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
- Pasal 28 i ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
- Pasal 77 sampai dengan Pasal 85 Undang Undang Nomor : 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
- Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 21/PUU-XII/2014.
- Putusan Mahkamah Konstitusi RI No : 25/PUU-XII/2016.
- TENTANG DUDUK MASALAHNYA
- Bahwa dalam Permohonan Praperadilan ini, PEMOHON memiliki hubungan hukum dengan TERMOHON dalam hal : TERMOHON telah mengenakan tindakan paksa terhadap PEMOHON berupa penetapan status tersangka, penangkapan dan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) pada tempat TERMOHON sebagaimana tertera dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp-Kap/32/VII/2019/Sektor Oebobo Tanggal 05 Juli 2019 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: Sp-Han/ 19/ VII/ 2019/ Satreskrim Tanggal 06 Juli 2019 dengan dugaan tindak pidana “Percabulan dan Pesetubuhan Anak ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) Sub Pasal 82 ayat (1) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2016 Jo Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang terjadi pada hari senin Tanggal 17 Juni 2019 sekitar Pukul 21.00 Wita bertempat di Parkiran Hotel Amaris dengan Alamat Jalan Bundaran PU, kelurahan Tuak Daun Merah, Kec. Oebobo, Kota Kupang.
- Bahwa pada hari rabu tanggal 05 juni 2019 bertempat di Seputaran Jembatan Liliba, Kelurahan TDM, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, TERMOHON melakukan upaya paksa berupa penangkapan terhadap PEMOHON;
- Bahwa sebagaimana point 2 di atas, TERMOHON melakukan upaya paksa Penangkapan kepada PEMOHON melalui surat Penangkapan Nomor : Sp-Kap/32/VII/2019/Sektor Oebobo Tertanggal 05 Juli 2019;
- Bahwa Penangkapan yang dilakukan TERMOHON dengan terlebih dahulu menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dengan hanya didasarkan pada Laporan Polisi Nomor : LP/B/97/VII/2019/sektor Oebobo, tertanggal 05 Juni 2019;
- Bahwa PEMOHON sempat menanyakan perihal penagkapan PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON yang kemudian oleh TERMOHON mengatakan bahwa “ kamu mengaku saja kamu perkosa anak itu dimana ? lalu PEMOHON mengatakan bahwa saya tidak melakukan apa-apa, kemudian TERMOHON memborgol PEMOHON lalu membawa PEMOHON untuk selanjutnya ditahan di rumah tahanan negara polsek Oebobo selama 20 hari terhitung dari tanggal 06 juli sampai dengan tanggal 25 juli 2019 sebagaimana dalam surat perintah Penahanan Nomor : Sp-Han/19/VII/2019/Satreskrim.
- Bahwa penetapan status Tersangka kepada PEMOHON oleh TERMOHON jika memperhatikan Pasal 4 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan :
Dasar dilakukannya penyidikan adalah:
- laporan polisi/pengaduan;
- surat perintah tugas;
- laporan hasil penyidikan (LHP);
- surat perintah penyidikan, dan
- Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).
- Bahwa sebagaimana dalam point 6 di atas tentang Penyidikan, tampak bahwa TERMOHON tergesa-gesa dan gegabah serta sewenang-wenang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, oleh karena tahapan sebagaimana dimaksud di dalam PAsal 4 PERKAP A quo bahwa setelah ada LAPORAN POLISI, diikuti dengan SURAT PERINTAH TUGAS, dilanjutkan dengan LAPORAN HASIL PENYIDIKAN, diteruskan lagi dengan diterbitkan SURAT PERINTAH PENYIDIKAN dan akhirnya diterbitkan lagi SURAT DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) tidak dipatuhi/dilanggar oleh Penyidik;
- Bahwa PEMOHON merasa aneh karena bagaimana mungkin pada saat adanya laporan polisi, pada saat yang sama pula diterbitkan surat perintah penyidikan. Yang menjadi pertanyaan PEMOHON adalah kapan penyelidikan itu dilakukan ? Pertanyaan ini menjadi substantif dan signifikan karena Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 menegaskan bahwa dalam Penyelidikan, calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai Tersangka, terlebih dahulu dipanggil dan diperiksa, In Casu, kapan dan dimana Surat Panggilan terhadap PEMOHON? Bukankah apa yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tindakan sewenang-wenang telah melanggar baik Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana maupun Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014?
- Bahwa apalagi PEMOHON in casu bukan merupakan pelaku yang tertangkap tangan melakukan dugaan tindak pidana, sehingga penyelidikan menjadi hal yang sangat penting dilakukan oleh penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan (vide Pasal 1 angka 5 KUHAP)
- Bahwa penetapan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON, adalah tidak sah, karena tidak didasarkan pada dua alat bukti yang sah baik berupa keterangan saksi, surat, maupun ahli. Adapun alasan mengapa PEMOHON menyatakan bahwa TERMOHON belum memiliki Bukti Permulaan untuk ditetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, oleh karena bagaimana mungkin dalam rentang waktu yang singkat setelah adanya Laporan Polisi Nomor : LP/B/97/VII/2019/sektor Oebobo, tertanggal 05 Juni 2019 segera saat itu juga bukti permulaan (dua alatbukti) sudah ditemukan?
- Bahwa apa yang dilakukan TERMOHON dengan menetapkan PEMOHON sebagai tersangka adalah sangat aneh karena bagaimana mungkin pada tanggal 05 Juli 2019 pada saat TERMOHON menerima laporan dan pada saat itu juga TERMOHON melakukan upaya paksa berupa penangkapan terhadap PEMOHON (bukan tertangkap tangan dan atau telah dipanggil secara patut dua kali berturut-turut) dan selanjutnya TERMOHON melakukan upaya penahanan terhadap PEMOHON dalam Rumah Tanahan Negara polsek Oebobo sebagai tersangka dugan tindak pidana “Percabulan dan Pesetubuhan Anak ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) Sub Pasal 82 ayat (1) Undang – undang Nomor 17 Tahun 2016 Jo. Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
- Bahwa, dengan demikian maka tindakan TERMOHON yang menetapkan PEMOHON sebagai tersangka berdasarkan laporan polisi Nomor: LP/B/97/VII/2019/ Sektor Oebobo tanggal 05 Juli 2019 adalah merupakan tindakan sewenang wenang dan tidak sah, melanggar Hak Asasi Manusia serta bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum (Undue process of law).
- Bahwa berdasarkan pendapat guru besar hukum pidana Indonesia Eddy O. S Hiariej dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian, untuk menetapkan seorang sebagai tersangka (TERMOHON) haruslah melakukannya berdasarkan bukti permulaan yaitu : yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa ataukah petunjuk. Bahwa bukti permulaan dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan dalam pembuktian adanya tindak pidana haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana dalam suatu pasal. Dan dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan Penetapan seseorang sebagai Tersangka atau penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah di konfrontasi antara satu dengan yang lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal ini dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada tersangka, akan tetapi berdasarkan doktrin hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfairprejudice atau persangkaan yang tidak wajar. In casu dalam perkara ini bahwa TERMOHON dalam menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dengan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprindik/ 58/ VII/2019/ Sektor Oebobo tanggal 5 juni 2019 dengan sagkaan melakukan tindak pidana “Percabulan dan Pesetubuhan Anak ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) Sub Pasal 82 ayat (1) Undang – undang Nomor 17 Tahun 2016 Jo Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang – undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak PEMOHON tidak pernah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi dan juga tidak pernah diperiksa sebagai tersangka.
- Bahwa dengan demikian kenyataannya penetapan status tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON sama sekali tidak pernah didahului dengan proses pemanggilan serta permintaan keterangan terhadap diri PEMOHON baik ditingkat penyelidikan maupun ditingkat penyidikan hal itu dapat dibuktikan karena laporan polisi tertanggal 5 Juli 2019 dan pada hari itu juga 05 juli 2019 PEMOHON ditangkap dan ditahan oleh TERMOHON dengan status tersangka.
- Bahwa dengan demikian penetapan PEMOHON sebagai tersangka tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum, yaitu tidak didukung dua alat bukti yang sah (vide putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUUXII/2014 tanggal 28-04-2015), sehingga tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai tersangka adalah tidak sah menurut hukum.
- Bahwa Penetapan Tersangka oleh TERMOHON yang tidak sah karena tidak didukung adanya dua alat bukti, maka perbuatan upaya paksa TERMOHON melakukan Penahanan, penagkapan terhadap PEMOHON di rumah tahanan Negara kepolisian sektor Oebobo adalah tidak sah menurut hukum.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum PEMOHON memohon agar Ketua Pengadilan Negeri Kelas Ia Kupang berkenan menjatuhkan Putusan dengan amar sebagai berikut :
- Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;
- Menyatakan surat perintah penyidikan nomor : Sprindik / 58/ VII/2019/ Sektor Oebobo tanggal 05 Juli 2019 yang menetapkan PEMOHON sebagai tersangka dugaan tindak pidana “Percabulan dan Pesetubuhan Anak ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) Sub Pasal 82 ayat (1) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2016 Jo Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang – undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah tidak Sah dan tidak berdasar hukum dan oleh karenanya penetapan pemohon sebagai tersangka tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
- Menyatakan oleh karena penyidikan tidak sah dan tidak berdasar pada hukum maka penyidikan aquo pada surat perintah penahanan Nomor : Sp-Han/19/VII/2019/Satreskrim tanggal 06 juli 2019 adalah tidak Sah menurut Hukum;
- Menyatakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan Termohon adalah tidak sah;
- Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
- Memerintahkan kepada TERMOHON untuk segera mengeluarkan PEMOHON ( Moses Timo Usfinit ) dari Rumah Tahanan Negara Kepolisian Sektor Oebobo;
Membebankan biaya kepada Termohon. |